U
U Cipta Kerja, atau lebih dikenal sebagai omnibus law, benar-benar menyita perhatian bangsa Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Omnibus law bertujuan untuk menyederhanakan dan memudahkan proses investasi dan bisnis. Beberapa aturan yang ‘disederhanakan’ terkait dengan perlindungan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini, menurut pemerintah, diperlukan untuk meningkatkan daya tarik Indonesia di mata investor, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
UU Cipta Kerja, atau lebih dikenal sebagai omnibus law, benar-benar menyita perhatian bangsa Indonesia dalam beberapa bulan terakhir. Omnibus law bertujuan untuk menyederhanakan dan memudahkan proses investasi dan bisnis. Beberapa aturan yang ‘disederhanakan’ terkait dengan perlindungan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam. Hal ini, menurut pemerintah, diperlukan untuk meningkatkan daya tarik Indonesia di mata investor, yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Namun menyusul pengesahan omnibus law ini, sebanyak 36 investor dan manajer investasi terkemuka global, yang mengontrol dana investasi sebesar US$4.1 triliun (Rp60.000 Triliun), mengirimkan surat kepada pemerintah, yang antara lain berbunyi: ‘… we are concerned by certain modifications which could be potentially detrimental from an environment, social, and governance perspective if implemented…Protecting tropical forests is vital for combating climate change, the degradation of ecosystems, and biodiversity loss…’.
Cukup ironis, omnibus law yang ‘menyederhanakan’ perlindungan lingkungan untuk menyenangkan hati investor, justru dikritik oleh investor itu sendiri. Sebanyak 36 investor tersebut khawatir omnibus law dapat berdampak negatif pada lingkungan.
Tapi bagi yang mengikuti perkembangan investasi di pasar modal global, surat pernyataan dari para investor besar dunia ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Jika pertanyaan diberikan pada berbagai investor besar di pasar global: apa isu terbesar yang menjadi perhatian mereka saat ini? Saya yakin sebagian besar akan menjawab: ESG alias Environmental, Social, Governance.
Investasi yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola, yang dikenal juga dengan sustainable investment atau responsible investment, tumbuh luar biasa pesatnya. Sebagai ilustrasi, berdasarkan data bulan April 2020 lalu di Amerika Serikat, dana kelolaan reksadana ETF yang berbasis ESG naik 5 kali lipat hanya dalam waktu 18 bulan. Yang lebih mencengangkan, ini terjadi ketika pasar modal dunia mengalami goncangan karena krisis covid.
Fenomena pertumbuhan investasi ESG yang meroket tidak hanya pada jenis produk reksadana ETF saja, dan tidak hanya di AS saja. Mari kita melongok data PRI (Principle for Responsible Investment). PRI adalah sebuah badan yang didirikan PBB tahun 2006 untuk mendorong investor menerapkan prinsip investasi yang bertanggung jawab. Saat ini lebih dari 3000 investor global, yang mengontrol dana lebih dari US$100 triliun, telah menjadi penandatangan (signatories) PRI.
Setiap signatories PRI wajib untuk mengintegrasikan faktor ESG, yaitu lingkungan, sosial, dan tata kelola, dalam keputusan investasi mereka. Kemudian, secara aktif mereka harus mendorong perusahaan atau project dimana mereka berinvestasi untuk mengadopsi prinsip ESG.
Berbagai inisiatif dan aliansi investor dunia juga bermunculan untuk mendorong isu-isu ESG, terutama terkait lingkungan. Dalam konteks perubahan iklim, misalnya, puluhan investor dan manajer investasi yang mengontrol US$47 triliun dana investasi, membangun aliansi yang bernama Climate 100+. Mereka adalah para investor yang bersepakat untuk mendorong dan memaksa perusahaan-perusahaan besar dunia untuk menurunkan pencemaran dan emisi karbon mereka.
Manajer investasi, yang sering dianggap sebagai kapitalis yang hanya mementingkan keuntungan finansial, kini tengah bertransformasi. Jadi, jangan heran jika mereka fasih bicara tentang perubahan iklim, deforestasi, atau kesetaraan gender layaknya para aktivis NGO.
Walau masih dalam tahap yang awal, tren ini juga sudah bermulai di Indonesia. Yayasan KEHATI, misalnya, secara reguler menyeleksi saham dan perusahaan yang terdaftar di BEI berdasarkan kinerja lingkungan dan sosial mereka. Beberapa manajer investasi kemudian memobilisasi dana masyarakat dalam bentuk reksadana, dan selanjutnya menginvestasikan dana tersebut pada saham perusahaan yang telah diseleksi Yayasan KEHATI tadi.
Pertumbuhan pesat ESG ini tidak akan berhenti di sini saja. GSIA (Global Sustainable Investment Alliance) memperkirakan 10 tahun dari sekarang, sebanyak 95% dari investor di seluruh dunia akan mengintegrasikan ESG dalam proses pengambil keputusan investasi.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi sehingga para investor kini berlomba-lomba peduli pada urusan lingkungan? Jawabannya, banyak yang terjadi, dan datang dari berbagai arah.
Pertama, isu-isu lingkungan kini dipercaya sebagai ancaman terbesar bagi kelangsungan kehidupan manusia. Lima risiko terbesar yang dihadapi dunia dalam tahun-tahun mendatang semuanya terkait lingkungan yaitu: cuaca ekstrim, perubahan iklim, bencana alam, krisis keanekaragaman hayati, dan bencana lingkungan karena ulah manusia. Ini berdasarkan survei yang dilakukan WEF (Wolrd Economic Forum) pada pemimpin-pemimpin dunia tahun 2020 ini. Dalam survei yang sama sepuluh tahun yang lalu, misalnya, responden menganggap risiko-risiko besar dunia terkait dengan faktor-faktor ekonomi.
Kedua, dengan berbagai ancaman yang dihadapi dunia ini, muncul berbagai komitmen untuk mengatasinya. Misalnya, kesepakatan dunia dalam menghadapi krisis perubahan iklim pada tahun 2015, atau Paris Agreement. Ini adalah komitmen untuk merubah strategi pembangunan yang lebih ramah lingkungan, yang menghasilkan emisi karbon yang lebih rendah.
Pada tahun yang sama, semua negara anggota PBB, termasuk Indonesia, sepakat untuk mengadopsi SDG (Sustainable Development Goals). SDG ini merinci 17 tujuan yang harus dicapai dalam pembangunan. Sebanyak 12 dari 17 tujuan pembangunan berkelanjutan ini berkaitan dengan isu-isu lingkungan dan sosial. Misal, pola produksi dan konsumsi kita harus disesuaikan dengan daya dukung planet Bumi, daya dukung lahan, hutan, dan lautan kita.
Yang ketiga, meningkatnya kesadaran publik terhadap isu-isu lingkungan, terutama di kalangan generasi lebih muda, seperti generasi milenial dan generasi Z. Artinya, para investor, perusahaan keuangan dan manajer investasi yang ingin memobilisasi dana dari masyarakat, harus menunjukkan pada nasabah bahwa mereka mengakomodasi norma-norma baru tersebut.
Keempat, insentif atau paksaan dari otoritas keuangan di berbagai belahan dunia yang mengeluarkan berbagai peraturan agar investor memperhatikan faktor lingkungan dalam berinvestasi.
Yang kelima, yang mungkin paling penting, adalah berubahnya cara pandang investor terhadap isu lingkungan dan sosial. Jika sebelumnya sebagian besar investor beranggapan bahwa isu lingkungan dan sosial merupakan distraction dan beban tambahan bagi perusahaan. Sekarang, justru sebaliknya, sebagian besar investor percaya bahwa faktor ESG berkontribusi terhadap kinerja portfolio investasi.
Jika risiko ESG tidak dikelola dengan baik, perusahaan akan terpapar pada berbagai risiko, mungkin tuntutan hukum atau boikot dari konsumen. Perusahaan juga bisa kehilangan peluang bisnis jika tidak mengantisipasi tren terkait isu lingkungan dan sosial. Misalnya, perusahaan yang masih menggantungkan diri pada batubara ketika dunia mulai beralih pada energi bersih yang lebih murah seperti energi tenaga matahari.
Berubahnya cara pandang investor ini didukung oleh berbagai studi, bahwa investasi yang memperhatikan aspek ESG menghasilkan keuntungan yang lebih baik dalam jangka panjang. Oleh karena itu, investor atau manajer investasi dianggap tidak melaksanakan tugasnya dengan baik jika tidak mempedulikan aspek lingkungan dan sosial dalam mengambil keputusan investasi.
Jadi, tidak ada yang aneh jika 36 investor dan manajer investasi dunia menyampaikan keprihatinan mereka pada pasal omnibus law, yang menurut mereka mengurangi proteksi pada lingkungan hidup dan sumber daya alam Indonesia. Karena hal ini sejalan dengan norma investasi yang mereka anut, dan bagian dari tanggung jawab mereka pada nasabah atau pemilik modal, untuk menciptakan kinerja yang lebih baik bagi portofolio investasi mereka.
Upaya meningkatkan kemudahan berinvestasi dan berbisnis melalui omnibus law selayaknya didukung semua pihak. Namun, jangan pernah berasumsi bahwa melonggarkan perlindungan lingkungan dan sumber daya alam akan menjamin datangnya investor. Jika kita tidak cermat bisa jadi investor semakin menjauh. Dan, jika kita tidak ikut bergerak mengadopsi prinsip berkelanjutan, kita berisiko untuk terisolasi dari pasar modal dunia yang terus berubah cepat.
Lalu yang tersisa untuk kita barangkali adalah investor yang ingin bebas mengeksploitasi sumber daya alam dan lingkungan kita. Tentu bukan investor seperti ini yang kita inginkan. Karena kita tidak ingin dikenang sebagai generasi yang yang tidak menjaga keberlanjutan alam kita, generasi yang mewariskan kerusakan dan bencana, generasi yang merampas hak-hak generasi di masa yang akan datang.
-- artikel ini telah dimuat sebelumnya di majalah DEWI
* BACA JUGA:
— Menguras Natural Capital: Ekonomi Siapa Yang Kita Perjuangkan?
— Bakar-bakar Uang Ala Perusahaan Teknologi
— Ke(tidak)sempurnaan Seorang Pemimpin
— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi
— Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mata Uang Dalam Jangka Menengah
— Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?
Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com