R upiah itu hakikatnya dalam jangka panjang memang trendnya harus melemah terhadap USD, selama karakteristik dasar ekonomi kita tidak berubah, yaitu inflasi yang relatif lebih tinggi. Tidak perlu ada yang dikhawatirkan bila akselerasi pelemahannya sewajarnya, anggap itu konsekuensi alami saja untuk mengkompensasi inflasi kita yang lebih tinggi.
Sesekali Rupiah mengalami episode pelemahan dalam gejolak yang besar, umumnya karena pengaruh pasar keuangan dan ekonomi global. Mengingat Indonesia negara kecil dalam konteks pasar keuangan global, sedikit saja pergerakan dana global berkaitan dengan pasar kita, Indonesia akan terguncang. Tidak ada yang aneh juga, hampir semua negara berkembang rentan terhadap gejolak pasar global. Negara berkembang dengan surplus current account yang besar biasanya bisa sedikit meredam gejolak itu, tapi tidak ada yang benar-benar kebal.
Jadi, bukan kambing bukan hitam, gejolak rupiah sekarang karena krisis negara berkembang yang datang silih berganti dan saing mempengaruhi, Turki dan kemudian Argentina, misalnya.
Sayang, current accountnya Indonesia selalu defisit, tabungan devisanya juga terbatas, jadi tidak memiliki kemampuan terlalu banyak untuk meminimalisasi gejolak pasar dan aliran modal global.
Tapi, jangan terlalu marah-marah juga kenapa kita current account Indonesia defisit, atau dalam bahasa sederhana kenapa impor barang dan jasa kita lebih besar dari ekspor barang dan jasa kita. Itu memang karakteristik ekonomi kita, yang merefleksikan kelakuan dan perangai kita sendiri. TIdak mampu dan tidak mau memproduksi kebutuhan barang dan jasa sendiri, jadi impor saja dari luar negeri.
Negeri Selalu Defisit
Indonesia dari dulu memang cenderung selalu memiliki neraca account yang defisit, kecuali pada dua periode. Periode pertama, pasca krisis moneter 1997/1998, karena ekonomi kita kolaps, nilai dollar melambung tinggi, kita tidak punya kemampuan untuk impor. Yang tak lama kemudian disusul kemudian oleh periode booming komoditas. Ekonomi China yang tumbuh meledak membtuuhkan impor banyak barang komoditas termasuk dari Indonesia, ekspor kita pun melambung. Ini rejeki windfall buat kita, easy money, easy devisa. Tinggal gali dan lubang-lubangi bumi kita, tinggal tebang dan bakar hutan untuk sawit. Lalu kita ekspor lah batu bara, minyak sawiit. Hasilnya kita hura-hura impor segala yang kita mau. Ngapain repot-repot bikin sendiri, tinggal impor ini.
Begitu ekonomi China melambat pertumbuhannya, harga komoditas pun melemah, kita puyeng lagi. Nilai ekspor kita turun, sementara tabiat malas memproduksi barang sendiri sudah mendarah daging. Jadi, ekspor turun, impor jalan terus. Ya, menjadi defisit lagi neraca current account kita, yang sekarang sudah berlangsung dari akhir tahun 2011 hingga saat ini. Yang artinya pertahanan kita terhadap gejolak pasar dan aliran kapital global tidak kuat.
Jadi, selama inflasi kita relatif lebih tinggi, memang nasib rupiah kita melemah dalam jangka panjang, tapi tidak perlu dikhawatirkan jika tidak terlalu bergejolak. Namun, gejolak pelemahan yang berbahaya buat ekonomi dapat terjadi kalau kita masih mempertahankan tabiat malas memproduksi barang, senangnya beli saja alias impor. Akibatnya ya itu, dalam istilah ekonomi, current account kita defisit alias minus. Karena minus, kebutuhan dollar kita tergantung atas kemurahan hati investor global, apakah mereka mau membawa uang ke negeri kita. Disaat mereka lagi alergi terhadap negara berkembang seperti sekarang, kelabakan lah kita.
Jadi marilah kita menjadi bangsa yang rajin bekerja dan memproduksi, barang dan juga jasa. Memperkuat basis produksi negeri ini, sekali lagi barang dan jasa, memang tidak semudah membalik telapak tangan. Akses pasar perlu dibangun. Kapasistas produksi (yang kompetitif) perlu dibangun. Fasilitas produksi atau manufaktur ini butuh dukungan infrastruktur, listrik, jalan, pelabuhan, dll. yang dalam beberapa tahun ini digenjot habis-habisan dengan segala kontroversinya. Tujuannya baik, arahnya benar, tapi mungkin makan waktu untuk selesai, dan tidak semuanya mungkin tepat sasaran dan efisien, apalagi kalau ada penumpang-penumpang gelap. Fasilitas produksi juga butuh teknologi, butuh keahlian pengelolaaan, butuh orang pintar dan rajin, butuh lingkungan hukum dan kemasyarakatan yang ramah dan mendukung.
Salahnya Jokowi atau SBY?
Tapi terlepas dari semua itu, ini bukan Jokowi, bukan SBY. Prioritas pembangunan mungkin berbeda sedikit, tapi pendekatan pengelolaan dan cara pandangnya ya mirip-mirip sajalah antara SBY dan Jokowi. Menteri dan pejabat ekonominya ya itu-itu juga, Sri Mulyani, Darmin Nasution, Agus Martowardoyo, dan yang sejenis.
Jadi bukan Jokowi, bukan SBY, tapi it’s you. You semua yang malas berproduksi, malas belajar, malas memutar otak, malas mengayunkan tangan…senangnya jajan impor, senangnya dagang impor, senangnya menguras hasil bumi Indonesia hingga bopeng-bopeng dan berdarah-darah untuk membiayai tabiat impornya, yang ternyata sekarang pun sudah tidak cukup dan mulai habis menipis. Entah berapa kelak yang tersisa untuk anak cucu dan generasi Indonesia mendatang.
Jadi, jangan marah-marahin Rupiah kenapa ia melemah. Rupiah lah yang seharusnya marah-marah, ia menjadi lemah karena tabiat kita, you dan saya.
Tapi jangan putus asa, Indonesia bangsa yang (berpotensi) hebat. Gegap gempita Asian Games mengingatkan kita kembali bahwa setidak-tidaknya kita punya kemampuan merencanakan, mengorganisir, dan mengeksekusi. Kita memiliki kemampuan kreativitas kelas DUNIA. Dengan jurus pencak silat kita bisa membabat semua lawan. Dan yang lebih penting ternyata kita bangsa yang (bisa) sangat kompak. Jika kita mau.
Itu saja.
* BACA JUGA:
— Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mata Uang Dalam Jangka Menengah
— Ke(tidak)sempurnaan Seorang Pemimpin
— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi
— Black Monday: Ketika Awan Hitam Menyelimuti Bursa
— Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?
Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com