Di masa kecil, saya suka memperhatikan tukang kredit membawa barang-barang dagangan keliling kampung naik sepeda atau sepeda motor. Dagangannya biasanya barang-barang rumah tangga sederhana seperti ember, panci, nyiru, saringan santan, gayung, sapu ijuk, dan semacamnya. Etek saya (adik ibu), yang tinggal di sebelah rumah, beberapa kali membeli peralatan rumah tangga sederhana dari tukang kredit tersebut. Namun seingat saya, ibu saya cukup beruntung, karena tidak perlu membeli barang-barang seperti itu melalui tukang kredit.
Utang adalah satu hal yang paling sering dicaci maki dan sangat dibenci di permukaan bumi ini, sepertinya. Logikanya, seseorang yang berutang berarti dia tidak mampu memenuhi kehidupannya, atau ia hidup diluar batas kemampuannya. Utang akan menghantui seperti bayangan kuntilanak, karena setiap saat pemiliknya akan datang menagih. Utang terasa menghimpit, karena jumlahnya akan terus bertambah setiap detik, setiap utang ada ekstra biaya yang harus dibayar alias bunga. Utang adalah bentuk eksploitasi orang-orang berduit terhadap orang susah.
Entah sudah berapa banyak cerita yang kita dengar tentang malapetaka utang. Nasihat-nasihat pengelolaan keuangan juga sering mewanti-wanti kita tentang bahaya utang. Artikel-artikel di media atau internet bertebaran mengenai betapa bahaya dan menakutkannya uang, dari berbagai perspektif. Utang juga digemari dipakai untuk mendiskreditkan pihak lain. “Pemerintahan SBY (atau pemerintahan Jokowi) kerjanya cuman nimbun utang buat negara,” kata sesesorang berlagak bagai pakar ekonomi. “Ah, keliatannya saja kaya, banyak utangnya ‘kali”, kata seseorang lain dengan dosis iri tingkat tinggi.
“Utang adalah salah satu penemuan terhebat dalam sejarah manusia.”
Tanpa Utang Hidup Kita Mungkin Akan Menyedihkan
Kembali cerita mengenai etek saya di kampung, suatu kali saya bertanya pada beliau kenapa membeli barang-barang tersebut lewat tukang kredit, kenapa bukan ke toko di pasar, beliau menjawab: “Kalau beli ke pasar, saya harus nunggu lebaran tahun depan baru punya panci.”
Beberapa tahun yang silam, saya mencoba melakukan survei kecil-kecilan di antara teman-teman, apakah mereka memiliki utang atau tidak. Sebagian besar dari mereka memiliki utang. Sebagian besar memiliki utang untuk memiliki rumah (KPR), beberapa untuk membeli mobil atau sepeda motor. Beberapa juga memiliki utang dalam kartu kredit, walau pun sebagian besar dari teman saya memiliki kartu kredit, lebih untuk alat transaksi saja bukan alat pembiayaan (utang). Kenapa teman-teman saya memiliki rumah harus berutang melalui KPR? Jawabannya sama dengan jawaban etek saya, “Kalau beli dengan uang sendiri, entah kapan saya bisa punya rumah.”
Tanpa utang teman saya harus mengumpulkan uang bertahun-tahun untuk memiliki rumah, atau tidak akan pernah mampu memiliki rumah. Tanpa utang, etek saya harus menunggu lebaran tahun depan untuk memiliki seperangkat alat rumah. Utang adalah penemuan ajaib yang memungkinkan orang-orang untuk menikmati apa yang ia tidak bisa nikmati hari ini. Penemuan ajaib yang memungkinkan orang untuk menikmati hal-hal yang mungkin tidak akan pernah ia nikmati dalam hidupnya.
Bayangkan jika kita kaum kelas menengah urban tidak memiliki akses pada utang KPR, kapan sebagian besar kita akan memiliki rumah dengan penhasilan sendiri? Mungkin menunggu sepuluh tahun atau dua puluh tahun? Jangan-jangan bisa lebih lama, kita baru mampu memiliki rumah sendiri ketika sudah memasuki hari tua, atau sebagian dari kita tak akan pernah memilikinya sama sekali. Persoalannya, sementara kita menabung, tidak hanya harga rumah naik terus, tetapi kita juga harus mengeluarkan uang untuk menyewa rumah. Banyak dari kita, akhirnya memutuskan untuk “menyewa” uang alias berhutang dan memiliki rumah segera, daripada menyewa rumah.
Dapat kita bayangkan jika utang ditiadakan di seluruh permukaan bumi, maka banyak dari kita akan kehilangan apa yang hari ini kita bisa nikmati. Dunia tanpa utang, adalah dunia yang miserable, dunia yang sangat menyedihkan dan mengenaskan bagi banyak kita. Karena, tiba-tiba sebagian besar dari kita akan kehilangan rumah, apartemen, mobil dan harta lainnya yang kita miliki.
Utang Sebagai Penggerak Perekonomian
Secara makroekonomi, utang merupakan alat yang memungkinkan ekonomi berputar lebih cepat, karena utang menciptakan uang. Dalam hal ini yang saya maksud dengan utang adalah utang bank. Kita akan bicarakan secara khusus dalam artikel lain, tapi intinya setiap bank memberikan utang, maka bank juga “mencetak” uang dalam perekonomian. Sebagian besar uang beredar dalam masyarakat “diciptakan” oleh bank, bukan bank sentral. Perputaran ekonomi membutuhkan uang untuk memfasiltasinya, tanpa uang ekonomi akan mati suri, kita akan kembali ke sistem barter. Dan, uang ini sebagian besar diciptakan melalui utang.
Jadi, utang bukanlah sesuatu yang mesti dimusuhi dan dibenci, karena utang merupakan bagian penting dalam hidup kita, dalam perekonomian.
Utang juga jangan selalu dipandang sebagai sesuatu yang negatif, bahwa seseorang yang memiliki hutang adalah seseorang yang tidak memiliki kemampuan cukup dalam hidupnya. Tidak sesederhana itu, ada 4 level kondisi keuangan berkaitan dengan utang:
- Level 1 – orang kaya dan berkelebihan dan “tidak memerlukan” utang, atau bahkan memberikan utang
- Level 2 – pada level berikutnya adalah orang yang “mampu” memiliki utang, kemungkinan sebagian besar kaum menengah urban seperti kita
- Level 3- di level berikutnya lagi adalah orang yang “belum mampu” memiliki utang, mungkin kaum menengah muda atau yang sedang meniti karirnya menuju level 2
- Level 4 – pada level yang paling bawah adalah kaum yang “terpaksa” memiiki utang alias dalam kesulitan ekonomi.
Tentu saja ada orang yang “mampu” memiliki utang, namun memutuskan untuk tidak memiliki utang karena pilihan pribadi, keyakinan, dan lain-lain. Demikian juga, ada orang-orang yang tidak memerlukan utang, namun memilih berutang mungkin dalam rangka mengefisienkan keuangannya. Dalam konteks perusahaan ini dinamakan capital management
Jadi, peringatan tentang bahaya utang dari berbagai pakar adalah hoax? Ya, tidak juga. Utang seperti apapun juga yang memiliki daya guna dalam hidup ini memiliki sisi negatifnya jika tidak digunakan secara tepat. Ibarat pisau bermata dua istilahnya.
Dalam konteks pengelolaan keuangan personal, utang tidak menciptakan kekayaan kita, namun utang memungkinkan kita mempercepat kita memiliki sesuatu dengan “meminjam” penghasilan kita di masa yang akan datang. Jadi, selama tiga syarat ini terpenuhi, utang mudah-mudahan akan memberikan manfaat yang lebih dari risikonya:
“Jadi, selama tiga syarat ini terpenuhi, utang dapat memberikan manfaat yang lebih dari risikonya: sesuai kemampuan, sesuai kebutuhan, sesuai harganya.”
- Sesuai kemampuan – karena utang adalah sekedar menggunakan penghasilan kita di masa yang akan datang.
- Sesuai kebutuhan – digunakan untuk sesuatu yang benar-benar kita butuhkan.
- Sesuai harganya – kita mengambil hutang dengan harga, persyaratan, yang fair. Dengan kata lain, pihak pemberi utang tidak menyalahgunakan posisi mereka untuk mengabuse peminjam. Sayangnya ini justru sering terjadi pada orang-orang yang lemah, yaitu orang-orang pada level 4 di atas.
Jadi, tak salah banyak pihak, ahli keuangan, pengamat, teman, orang tua, ulama, dan lain-lain mengingatkan kita tentang risiko utang, tentang beban memiliki utang. Namun, dalam pendapat saya, hal tersebut jangan membuat kita benci atau ketakutan akan utang. Seperti saya sampaikan sebelumnya, utang adalah salah satu penemuan terhebat dalam sejarah manusia.
BACA JUGA
— Negeri Kita Berdarah-darah karena Hutang
— Cash is King, but Too Much Cash will Kill You
— Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?
Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com
Feel free to share with buttons below. Thank you.