P
elajaran yang saya terima di bangku sekolah mengatakan bahwa aktivitas ekonomi membutuhkan beberapa faktor produksi, yaitu tenaga kerja manusia, modal, dan sumber daya alam. Semuanya memiliki peran masing-masing dan tidak tergantikan. Untuk faktor sumber daya alam lahan atau komoditas sering dijadikan sebagai contoh, yang sepertinya cukup akurat dalam menggambarkan realita yang ada.
Pelajaran yang saya terima di bangku sekolah mengatakan bahwa aktivitas ekonomi membutuhkan beberapa faktor produksi, yaitu tenaga kerja manusia, modal, dan sumber daya alam. Semuanya memiliki peran masing-masing dan tidak tergantikan. Untuk faktor sumber daya alam lahan atau komoditas sering dijadikan sebagai contoh, yang sepertinya cukup akurat dalam menggambarkan realita yang ada.
Kontribusi alam dalam pertumbuhan ekonomi sering direduksi sebagai lahan produksi atau komoditas belaka. Nilai sebuah hutan, misalnya, adalah dari seberapa besar nilai jual dari kayu yang ditebang, atau seberapa nilai dari lahan yang dikosongkan untuk ditanami komoditas perkebunan. Dengan demikian nilai produksi atau nilai tambah ekonomi dari eksploitasi hutan dianggap merupakan hasil dari kerja keras manusia dan modal yang diinvestasikan saja.
Namun, sesungguhnya nilai tebangan pohon dari hutan hanyalah sebagian kecil dari nilai intrinsik ekosistem hutan tersebut. Hutan sebagai sebuah ekosistem merupakan kesatuan dan keseimbangan dari berbagai makhluk hidup yang ada di dalamnya serta lingkungan sekitarnya, tanah, air, dan udara. Sebuah pohon hanyalah satu dari puluhan atau ratusan jenis tumbuhan lainnya. Di antara ratusan jenis tumbuhan ini hidup ratusan jenis hewan serta ribuan mikro organisme. Tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme ini saling gantung bergantung, menjadi habitat, menjadi sumber makanan, menjadi penyerbuk, menjadi pengurai, dan lain-lain.
Demikian juga halnya hubungan keseimbangan yang terjalin dengan lingkungan non-hidup, tanah, air, dan udara. Tanah, air, dan udara menjadi fondasi kehidupan tumbuhan, hewan, dan mikroorganisme. Sebaliknya, tanah, air, dan udara juga bergantung pada kekayaan keanekaragaman kehidupan di hutan tersebut. Air yang tersimpan dan dialirkan secara berkelanjutan, udara yang bersih, tanah yang subur, sangat tergantung pada eksistensi dan keberagaman kehidupan di hutan tersebut.
Ekosistem hutan memberikan dukungan yang tak terhingga bagi kehidupan manusia didalamnya, disekitarnya, hingga jauh di sepanjang aliran sungai yang serapan airnya berasal dari hutan tersebut. Rusak atau hilangnya satu komponen dari hutan dapat merusak keseimbangan kehidupan dalam hutan, merusak keseimbangan tanah, air, dan udara.
Jadi, hilangnya sebuah pohon bukan saja hilangnnya sebatang kayu. Tetapi adalah hilangnya habitat dan sumber makanan bagi burung-burung, serangga, dan hewan-hewan lainnya. Sementara burung dan serangga merupakan sumber makanan, penyerbuk, atau pengurai bagi makhluk hidup lainnya. Hilangnya sebuah pohon, juga berarti hilangnya sumber humus bagi tanah, serta hilangnya kemampuan tanah dalam menyerap dan menyimpan air. Hilangnya pohon juga hilangnya daya serap karbon (CO2) dan daya produksi oksigen, yang berarti mengganggu keseimbangan iklim.
Hilangnya pohon tidak hanya hilangnya sebatang kayu. Tetapi juga berarti hilangnya berbagai komoditas lain, sumber makanan, material, atau obat-obatan. Hilangnya sumber air di musim kemarau, hilangnya penyerap air dan banjir di musim hujan. Hilangnya udara yang bersih, hilangnya cuaca yang nyaman. Hilangnya sebuah alam yang indah untuk pelepas lelah dan sumber kekayaan spiritual kita.
Oleh karena itu, hilangnya pepohonan dalam sebuah hutan, dapat mengancam kesejahteraan atau bahkan eksistensi manusia. Eksistensi manusia yang ditopang oleh keseimbangan alam dan keanekaragaman hayatinya yang terbangun ratusan ribu tahun lamanya.
Sebatang pohon di hutan, tak ubahnya sekeping chip kecil pada sebuah handphone. Satu chip itu nilainya mungkin tak lebih dari Rp50 ribu. Tapi jika chip tersebut dicabut, handphone yang bernilai Rp10 juta tak akan berfungsi sama sekali. Tidak berfungsinya handphone artinya mereduksi kemampuan pemiliknya berkomunikasi, mungkin berarti hilangnya alat untuk melakukan pekerjaan sumber penghidupan bagi pemiliknya.
Sebatang pohon bagi hutan tak ubahnya sekeping chip bagi handphone kita. Bedanya, kita dengan relatif mudah dapat memfungsikan handphone kita kembali dengan memasang chip pengganti. Hal yang serupa tidak dapat dilakukan di alam. Menanam pohon kembali membutuhkan waktu yang lama, apalagi untuk mengembalikan sebuah ekosistem yang terlanjur rusak. Bahkan tidak semuanya dapat dikembangbiakkan kembali, karena beberapa species mendekati atau bahkan sudah terlanjur punah sama sekali.
Natural Capital dan Pembangunan Berkelanjutan
Secara keilmuan makroekonomi, ilmuwan mengkonfirmasikan bahwa alam sesungguhnya merupakan modal terbesar dalam aktivitas ekonomi kita. Modal alam (natural capital) memberikan kontribusi nilai lebih besar daripada PDB yang dihasilkan manusia. Oleh karena itu, adalah sebuah keniscayaan bagi strategi pembangunan ekonomi untuk menempatkan alam sebagai titik sentral, karena ia adalah modal terbesar yang kita miliki. Pembangunan yang dilakukan manusia dengan mengeksploitasi alam bisa saja tidak memberikan nilai tambah, atau secara tidak adil membebani masyarakat luas. Dalam kata lain, menghasilkan eksternalitas negatif.
Aktivitas ekonomi tanpa mempertimbangkan atau menghitung eksternalitasnya, dapat memberikan informasi yang menyesatkan. Informasi yang menyesatkan dapat menghasilkan keputusan yang menyesatkan pula. Alokasi kapital untuk sebuah aktivitas ekonomi bisa jadi menghasilkan hasil (return on capital) yang lebih rendah, atau bahkan negatif, jika dampaknya terhadap alam diperhitungkan. Karena penambahan atau return terhadap modal finansial belum mencerminkan turunnya modal alam, atau melebihi kapasitas daya dukung alam.
Misal, investasi pembangkit listrik menggunakan batubara akan memberikan eksternalitas negatif yang jauh leih besar daripada pembangkit listrik tenaga surya. Eksploitasi batubara tidak saja tidak dapat diperbaharui, tetapi juga memiliki biaya tersembunyi (hidden cost) yang cukup signifikan yang ditanggung masyarakat luas. Ia dapat mendegradasi lingkungan, menghasilkan limbah, polusi udara, serta emisi gas rumah kaca.
Oleh karena itu investasi dan lingkungan bukanlah sesuatu yang harus dipertentangkan, namun selayaknya sesuatu yang harus diintegrasikan satu sama lain dalam sebuah kerangka pembangunan yang berkelanjutan. Secara formal, konsep dan filosofi ini sudah diterima semua negara, termasuk Indonesia dengan mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDG). SDG ini merinci tujuh belas tujuan yang harus dicapai dalam pembangunan.
Bahkan, enam dari tujuh belas tujuan pembangunan berkelanjutan ini secara langsung dan erat berkaitan dengan isu-isu lingkungan. Bahwa, harus diambil tindakan dalam mengatasi krisis perubahan iklim yang semakin mengancam. Demikian juga, bahwa lautan, hutan dan tanah kita yang kaya, harus tetap terjaga lestari dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Ketersediaan air bersih, sumber energi yang bersih serta terjangkau bagi setiap lapisan masyarakat juga harus dijamin. Tujuan pembangunan berkelanjutan yang kita sudah adopsi ini juga ingin memastikan pola produksi dan konsumsi kita, para pebisnis dan konsumen, harus berkelanjutan, mendukung keberlanjutan daya dukung Planet Bumi.
Sekali lagi, ini bukan sekedar angan-angan atau teori-teori indah di atas kertas, tetapi sebuah komitmen yang dipahami dan disepakati oleh semua pihak di segala penjuru dunia, termasuk Indonesia. Artinya, debat antara kepentingan ekonomi dan lingkungan sudah usai. Mempertentangkan, apalagi menganggap melestarikan alam adalah sebuah halangan dalam membangun adalah sebuah bahasan usang yang terkebelakang.
Pembangunan ekonomi yang kita inginkan adalah pembangunan yang berkelanjutan, pembangunan yang tidak hanya bagi kita manusia yang hidup pada hari ini, tetapi juga bagi anak cucu kita, serta generasi-generasi di masa mendatang. Pembangunan yang kita inginkan adalah pembangunan yang inklusif, tidak hanya bagi sekelompok orang, tetapi bagi semua. Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan ini hanya dapat dicapai dengan keberlanjutan planet bumi.
Jadi, jika keberlanjutan alam, lingkungan, planet bumi dianggap sebagai halangan bagi pertumbuhan ekonomi, mungkin perlu dipertanyakan ekonomi siapa yang sedang kita perjuangkan. Meminjam istilah yang dipakai Pak Ahok dan Pak Erick Thohir: jangan-jangan itu ekonomi nenek lu, bukan ekonomi anak cucu.
Note: Tulisan ini telah dimuat sebelumnya di CNBC Indonesia.
BACA JUGA:
— Mengenal Hedge Fund, Private Equity, dan Venture Capital
— Kita Terlalu Mengagung-agungkan Kerja Keras?
— Faktor-faktor yang Mempengaruhi Mata Uang Dalam Jangka Menengah
— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi
— Pertarungan Antara Samurai vs Shogun di Dunia Obligasi Internasional
Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com