Perang dunia pertama merupakan sebuah perang yang luar biasa dahsyatnya, yang melanda seantero Eropa dan di beberapa bagian dunia lain. Kekuatan Sentral (Central Power) dimotori oleh Jerman, Austria-Hungaria, dan juga Kekaisaran Ottoman, berhadap-hadapan dengan pihak Sekutu yang dipimpin oleh Perancis, Inggris, dan Rusia (Triple Entente). Pihak sekutu kemudian juga didukung banyak negara lainnya termasuk Amerika Serikat. Perang yang dipicu oleh terbunuhnya putra mahkota Austria di Sarajevo, Bosnia, pada tahun 1914 itu, berakhir pada tahun 1918 dengan menyerahnya pihak central power.
Perang ini meluluhlantakkan Eropa, dengan korban jiwa hampir dua puluh juta orang, baik pihak militer mau pun rakyat sipil. Empat kekaisaran besar yaitu Jerman, Rusia, Austria-Hungaria, dan Ottoman tumbang. Ekonomi negara-negara Eropa mengalami bencana, terutama negara yang kalah tentunya. Tapi, Anda mungkin tak percaya jika saya katakan, di Jerman, hanya dalam jangka waktu 5 tahun sejak usainya perang dunia pertama ini, sebagian besar rakyatnya menjadi miliarder atau bahkan triliuner!
“Hanya dalam jangka waktu 5 tahun sejak usainya perang dunia pertama, sebagian besar rakyat Jerman menjadi miliarder atau bahkan triliuner!”
Jerman memulai perang dengan percaya diri. Untuk membiayai perang pemerintah Jerman mengeluarkan obligasi dengan berutang pada rakyatnya. Mereka berasumsi akan memenangkan perperangan dan melunasi utang obligasi dengan harta pampasan perang, serta dengan menguasai sumber daya alam dari negara yang bakal didudukinya. Hutang dan belanja pemerintah Jerman yang besar untuk kebutuhan perang ini mengkhawatirkan para pelaku pasar dan ekonomi. Kemudian pemerintah Jerman juga memutuskan untuk tidak lagi mendasarkan (mem-peg) mata uang Mark terhadap emas, untuk memberikan ‘fleksibilitas’ bagi pemerintahnya untuk mencetak uang jika diperlukan. Akibatnya, mata uang Mark Jerman mengalami pelemahan, nilainya menurun dari 1 USD = 4.2 Mark, menjadi 1 Mark = 7.9 Mark pada masa awal perang. Selanjutnya, harga barang-barang alias inflasi juga mengalami kenaikan.
Kalah dan Didera
Akan tetapi harapan pemerintah Jerman untuk memenangkan perang tinggal hanya sekedar harapan. Justru sebaliknya, Jerman bersama dengan kongsi perangnya, Austria-Hungaria dan Ottoman, mengangkat bendera putih dan menyerah pada pihak sekutu. Konsekuensi kekalahan ini bagi Jerman tidak tanggung-tanggung, selain kerusakan fisik akibat perang. Melalui “perjanjian” Treaty of Versailles, yang dipimpin oleh Perancis, Jerman harus menyerahkan 2.6 juta km2 wilayahnya pada negara-negara sekutu. Yang lebih parah lagi, Jerman yang sudah menanggung hutang besar, diharuskan membayar pampasan perang yang jumlahnya sangat besar, yaitu kira-kira US $440 billion dalam nilai dollar hari ini. Hal ini ditujukan untuk mereparasi kerusakan akibat perang yang dianggap dimulai oleh Jerman.
Banyak pihak yang menganggap hukuman buat Jerman ini luar biasa besarnya dan tak akan mampu dipikul oleh Jerman. Dan ini juga menimbulkan perlawanan dan perasaan merasa “tertindas” dan “terhina” di kalangan masyarakat Jerman. Sebagian ahli sejarah beranggapan, faktor ketidakpuasan masyarakat Jerman ini berkontribusi pada populernya gerakan nasionalisme seperti Nazi yang pada akhirnya berperan pada pecahnya perang dunia berikutnya yang lebih besar, yaitu perang dunia kedua.
Pihak sekutu, yaitu Perancis, Inggris, dan Rusia, mewajibkan pembayaran pampasan perang ini dalam emas atau mata uang yang stabil (hard currency). Hal ini disebabkan kredibilitas pengelolaan fiskal dan moneter Jerman turun jauh dimata pihak asing, dan mata uang Jerman tidak lagi diback up oleh emas. Inflasi semakin naik menjadi-jadi. Nilai Mark telah terdepresiasi terus menerus, dari 4.2 Mark per USD, menjadi 48 Mark per USD ketika Treaty of Versailles ditandatangani pada tahun 1919. Kemudian terus merosot menjadi sekitar 90 Mark per USD setahun kemudian.
Pada tahun 1921, Jerman diwajibkan untuk mulai membayar pampasan perang. Karena tidak memiliki devisa dan emas untuk membayar pampasan, pemerintah Jerman memutuskan untuk mencetak uang Mark dan membeli emas dan mata uang asing lainnya dari pasar dengan hasil uang cetakan tersebut. Akibatnya tentu saja nilai mata uang Mark anjlok, dan inflasi membumbung tinggi. Pada tahun 1922, nilai Mark terus ambrol menjadi sekitar 300 Mark per USD. Penurunan nilai Mark terus terjadi, dan akhirnya Jerman angkat tangan tak mampu lagi membeli emas ketika mata uangnya terus kehilangan nilai, 1 USD sekarang bernilai 7.400 Mark! Inflasi atau harga barang-barang juga naik ribuan kali lipat seiring dengan ajloknya nilai mata uang Mark tersebut.
Perancis tidak senang dengan situasi ini, dan memutuskan untuk menduduki daerah industri Jerman, untuk memaksa Jerman terus membayar pampasan perang. Ekonomi Jerman terus memburuk, buruh melakukan mogok kerja. Pemerintah Jerman yang tidak memiliki apa-apa, tak ada pilihan dan terus mencetak uang untuk membayar kewajibannya pada pegawai negeri dan belanja lainnya. Mata uang Mark tentu makin anjlok karena suplai uang semakin banyak hasil produksi mesin-mesin cetak pemerintah, inflasi makin membubung tinggi, karena uang sudah hampir tidak ada nilainya.
Harga sebatang roti (a loaf) yang pada tahun 1918 seharga 0.25 Mark, pada awal tahun 1923 melesat menjadi 250 Mark, atau naik seribu kali lipat karena pemerintah terus mencetak uang. Itu sebelum seberapa, menjelang akhir tahun 1923 harga sebatang roti melejit menjadi….80.000.000.000 (80 miliar) Mark!
Ekonomi Jerman dan kondisi moneternya yang makin tidak terkendali ini membuat semua pihak berfikir kembali tentang ‘hukuman’ yang diberikan pada Jerman. Dunia internasional akhirnya menyadari, bahwa Jerman tidak dapat dipaksa membayar semua pampasan perang, karena Jerman tidak akan mampu. Prioritas adalah untuk mengembalikan kestabilan moneter dan harga-harga di Jerman.
Jerman Sekarang: Negara Terdepan dalam Disiplin Pengelolaan Fiskal dan Moneter
Inflasti tak terkendali (hiperinflasi) pada era tahun 1920-an tersebut menjadi trauma yang sangat besar bagi Jerman. Karena mereka tahu, pengelolaan keuangan negara yang tidak bertanggung jawab, dan monetisasi kewajiban pemerintah melalui pencetakan uang, merupakan sumber inflasi yang akan membahayakan ekonomi.
“Kini, Jerman negara dianggap sangat konservatif dan disiplian dalam pengelolaan moneter dan fiskal.”
Penyelesaian krisis yang terjadi di Eropa beberapa tahun belakangan ini, seperti krisis hutang pemerintah Yunani, diwarnai dengan sikap keras dan “kaku” dari Jerman. Jerman, trauma dan belajar dari kasusnya sendiri seabad yang lalu, menerapkan syarat yang sangat ketat untuk memastikan negara-negara yang akan dibantu benar-benar disiplin dalam pengelolaan fiskal.
Jerman juga menjadi pihak yang sangat keras dalam mempersoalkan kebijakan moneter Bank Sentral Eropa (ECB) yang terlalu longgar, seperti quantitative easing. Sebagai catatan, QE walaupun sering dikutip sebagai ‘pencetakan uang’ oleh media, tapi sebetulnya bukanlah pencetakan uang seperti yang kita bayangkan. Di lain kesempatan akan kita bahas.
Jerman dapat dikatakan saat ini sebagai kiblat dalam disiplin pengelolaan fiskal dan moneter, dan memotori hal serupa bagi negara-negara Uni Eropa (EU). Pengelolaan fiskal yang disiplin, dan pengelolaan moneter yang independen dari fiskal merupakan kunci dalam menjaga stabilitas inflasi, dan telah diadopsi sebagian besar negara saat ini. Namun, bukan berarti ‘mismanagement‘ fiskal dan moneter tidak terjadi lagi. Bahkan hiperinflasi dalam skala seperti yang terjadi di Jerman seabad lalu itu terjadi lagi beberapa tahun yang lalu, kali ini di Zimbawe.
Pada kesempatan yang lain, kita akan bahas krisis-krisis inflasi atau hiperinflasi di negara lain. Untuk saat ini, setidaknya Anda semua sekarang sudah percaya bahwa sebagian besar rakyat Jerman betul-betul telah menjadi miliarder dan triliuner seusai kekalahan mereka pada perang dunia pertama.
Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com
Feel free to share with buttons below. Thank you.
Ulasan ini bagus dan berkelas. Menunjukkan perang menyengsarakan manusia, kali ini lewa hyperinflasi.
Salam