Rekan saya, seorang pelaku bisnis, merasa Indonesia tak ubahnya seperti negara sosialis. Ia merasa pemerintah penuh campur tangan dalam perekonomian, dengan aturan resmi mau pun tak resmi yang merecoki dunia usaha. Kewajiban untuk memenuhi UMR (upah minimum pekerja) yang terus naik, sebagai contoh, membuat seolah-olah pengusaha tersandera oleh tekanan pekerja.
Rekan saya ini mengutip perilaku “sosialis” pemerintah Indonesia lainnya, seperti mewajibkan ataupun “menyarankan” pengusaha untuk bermitra dengan pengusaha kecil atau warga setempat, mewajibkan bank untuk memberikan pinjaman pada usaha kecil dan menengah, yang kadang tidak credit-worthy apalagi menguntungkan.
“Aktivitas bisnis tidak lagi semata-mata karena prinsip pemilik kapital untuk menghasilkan laba sebesar-sebesarnya.”
Intinya, kebebasan pemilik kapital, yaitu pengusaha, terikat oleh intervensi pemerintah yang menentukan bagaimana bisnis harus dilakukan. Aktivitas bisnis tidak lagi semata-mata karena prinsip pemilik kapital untuk menghasilkan laba sebesar-sebesarnya. Belum lagi, gencarnya pemerintah mengoleksi pajak, mulai dari pajak transaksi seperti PPN hingga pajak penghasilan PPh, belum termasuk bea impor dan bea-bea yang lain.
“Sosialis sekali”, keluh rekan saya ini. Sambil menambahkan, dia pontang-panting berusaha, ujung-ujungnya sebagian besar disetor ke pemerintah untuk dibagi-bagikan ke yang lain. “Itu kalau tidak dikorupsi”, tambahnya. Saya mencoba menenangkan dan mengingatkan kalau negara kita berdasarkan Pancasila.
Kenalan yang lain, seorang jurnalis muda, dengan berapi-api mengeritik pemerintah yang menurutnya berkelakuan kapitalis, membangun keberpihakan pada pengusaha. Menurutnya, pemerintah telah memberikan konsesi dan proteksi pada banyak pengusaha dan merugikan masyarakat dan konsumen. Pemerintah langsung atau tidak langsung memberikan akses pendanaan kepada pengusaha besar. Sambil memberikan contoh-contoh klasik dari jaman orba, atau cerita BLBI, dan cerita-cerita lain yang lebih up to date.
“Yang kaya makin makmur, yang miskin makin melarat”
Rekan saya ini juga menambahkan bagaimana para pengusaha besar mengemplang pajak dengan berbagai cara, yang seharusnya merupakan hak seluruh rakyat Indonesia. Bagaimana pengusaha dan korporasi besar dibiarkan mengeksploitasi dan merusak alam Indonesia yang merupakan milik bersama, dan untuk anak cucu kita di masa depan.
Tak salah, katanya, jika yang kaya makin makmur, yang miskin makin melarat. Setiap kita baca berita tentang orang-orang kaya di Indonesia, isinya orang itu-itu saja atau anak cucu mereka. “Negeri kapitalis!”, sergahnya.
Kapitalis atau Sosialis?
Lalu, apakah Indonesia sebenarnya negara sosialis atau kapitalis?
Sebelum kita coba menjawab, baiknya kita ingat-ingat lagi apa yang dimaksud dengan sosialisme dan kapitalisme, dalam konteks perekonomian. Secara sederhana, dalam negara dengan prinsip sosialisme, alat produksi dalam ekonomi dikuasai sepenuhnya oleh negara. Tidak hanya alat produksi, termasuk juga apa dan sejumlah berapa yang akan diproduksi diatur oleh pemerintah. Semua warga negara bekerja pada alat dan produksi yang dimiliki oleh pemerintah. Semua hasil kerja dan produksi warga negara dialokasikan kembali pada warga negara, oleh pemerintah.
Sebaliknya, negara dengan prinsip kapitalisme memberikan kebebasan pada individu untuk membangun, memiliki, mengoperasikan alat-alat produksi. Warga negara dibiarkan berkompetisi, jika anda sukses anda akan lebih sejahtera, jika anda gagal melaratlah anda.
Terus terang, tidak ada satu pun negara di dunia ini yang benar-benar menganut prinsip sosialis murni atau pun kapitalis murni. Bahkan dua negara yang memimpin gerakan sosialis dunia, Rusia dan Tiongkok, dapat dikatakan telah banyak meninggalkan prinsip sosialisme. Orang-orang biasanya mengacu pada Kuba dan Korea Utara sebagai negara yang sangat mendekati profil negara sosialis murni. Namun, dengan reformasi di Kuba, dan bahkan di Korea Utara, keterlibatan swasta dalam ekonomi mulai tumbuh.
Jadi, yang dapat kita nilai dari sistem ekonomi negara-negara di dunia adalah seberapa kapitalis atau seberapa sosialis negara tersebut. Atau, apakah negara A lebih sosialis atau lebih kapitalis dari negara B.
Pajak Negara Sebagai Indikator Sosialis/Kapitalis
Bagaimana cara menilainya? Para ekonom dapat menggunakan beberapa indikator ataupun penilaian secara kualitatif. Namun mari kita kembali pada prinsip dasar sosialis dan kapitalis. Pada sistem sosialis alat produksi sepenuhnya dikuasai negara, kita hanya pekerja, apa-apa yang kita hasilkan seluruhnya dikembalikan pada negara. Hal ini dapat kita analogikan dengan tingkat pajak 100%, semua penghasilan dipotong oleh negara. Di sisi yang lain, pada sistem kapitalisme, semuanya diserahkan pada masing-masing warga negara untuk berpoduksi dengan cara-cara sendiri. Dalam kondisi yang ekstrim dapat kita katakan tidak ada pajak sama sekali.
Mari kita bandingkan seberapa besar pajak dalam sebuah negara relatif terhadap aktivitas ekonomi negara tersebut, atau Rasio Tax/GDP. Dari sekitar 180 negara, kita urutkan negara mana yang Tax/GDP rationya paling rendah dan mana yang paling tinggi. Saya pilih top 21, untuk menunjukkan posisi Indonesia.
Seperti terlihat pada tabel, negara dengan rasio pajak tertinggi semuanya adalah negara-negara Eropa, kecuali dua negara kecil yaitu, Timor Leste dan Lesotho. Cukup ironis, karena negara-negara Eropa yang selama ini diasosiasikan sebagai negara kapitalis ternyata cukup sosialis. Denmark, misalnya hampir separuh dari hasil kerja warganya diambil oleh negara sebagai pajak, untuk didistribusikan kembali ke seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk layanan publik.
Sebaliknya, negara dengan rasio pajak/GDP rendah didominasi oleh negara kurang berkembang, termasuk Indonesia, dan negara-negara Timur Tengah yang relatif kaya di sisi lain. Kok bisa? Di banyak negara timur tengah yang berbentuk kerajaan, aset dan sumber daya alam dimiliki oleh negara/kerajaan, sehingga negara tidak perlu lagi memungut pajak yang besar. Sebetulnya, ini mirip dengan prinsip sosialisme.
Penghasilan negara tidak hanya dari pajak, tapi juga dari penguasaan aset dan sumber daya alam negara. Dalam kata lain, pemerintah bisa jadi sudah mengenakan “pajak” dari awal, dengan menguasai aset dan sumber daya.
Kalau begitu, mari kita lihat seberapa besar pengeluaran atau belanja negara relatif terhadap aktivitas ekonomi. Semakin besar belanja negara relatif terhadap GDP, baik didanai oleh pajak maupun penguasaan aset negara, dapat kita anggap negara tersebut lebih sosialis.
Belanja Negara Sebagai Indikator Sosialis/Kapitalis
Negara-negara dengan belanja negara/GDP tertinggi sebagian besar masih negara Eropa, yang mengkonfirmasi bahwa negara Eropa secara relatif lebih “sosialis” dari negara-negara lain di dunia. Kemudian, ada juga beberapa negara timur tengah/Arab, seperti Oman, Libya, Kuwait, serta negara sosiaslis komunis seperti Kuba.
Bagaimana, dengan negara-negara yang rasio belanja negara/GDP paling rendah? Dapat dikatakan semuanya adalah negara-negara dengan berpendapatan rendah dan ekonomi yang berlum terlalu berkembang. Seperti terlihat di tabel, Indonesia adalah negara dengan rasio pengeluaran negara/GDP no.11 terendah di dunia, dari sekitar 180 negara. Per definisi di atas, inilah negara-negara yang lebih “kapitalis” di dunia. Ironis?
Namun, perlu kita pahami, bahwa negara miskin dan berkembang yang sepertinya lebih “kapitalis” dari negara-negara lain, bukanlah sesuatu by design, bukanlah sesuatu yang mereka inginkan. Jadi mungkin tidak terlalu tepat membandingkan negara maju di Eropa dengan negara belum berkembang di Afrika. Tapi kita dapat membandingkan sesama negara maju. Dalam konteks ini, negara-negara Eropa secara umum memang lebih sosialis dibandingkan AS misalnya.
Jadi, Indonesia Sosialis atau Kapitalis?
Berdasarkan keterlibatan pemerintah secara kuantitatif dalam perekonomian negara, Indonesia tergolong negara “kapitalis”. Aktivitas ekonomi sebagian besar berjalan sendirinya, tanpa campur tangan pemerintah. Akan tetapi ini dapat kita baca sebagai masih belum berkembangnya kelembagaan negara dalam menangani aspek-aspek perekonomian negara, bukan berarti karena keinginan kita.
Lalu bagaimana keluhan bahwa Indonesia adalah negara sosialis? Kemungkinan ini adalah penilaian terhadap area-area dimana pemerintah telah memiliki kemampuan dan wewenang, dan mencoba menginfuse prinsip-prinsip “sosialisme”. Hal ini untuk mengkompensasi area-area yang tidak dapat ditangani pemerintah dimana di sana terjadi ‘kompetisi bebas’ ala kapitalisme, namun tidak terdapat level playing field bagi semua pelaku ekonomi.
Sebagian komplain tentang intervensi pemerintah yang terkesan “sosialis”, mungkin sekedar merefleksikan belum efisiennya regulasi dan birokrasi. Harus diakui pula, pemerintah dimana-mana memang sering terjebak atau “gatal” menggunakan kekuasaannya untuk mengatur “just for the sake of mengatur”. Dan kepentingan politik pun dapat mendorong pemerintah menggunakan kekuasaannya untuk mengintervensi aktivitas ekonomi.
Kalau begitu, kenapa di sisi yang lain ada yang komplen keberpihakan pemerintah pada kalangan pemilik kapital besar? Hal ini, mungkin merefleksikan proses demokrasi dan tata laksana birokrasi (atau regulasi) yang belum efisien, yang memungkinkan terjadinya kolusi antara otoritas yang mengatur dan pelaku bisnis yang diatur.
By the way, almarhumah Ibu seorang teman saya di Tanjung Priok sana pernah mengatakan, bahwa Indonesia menganut campuran prinsip sosialisme dan kapitalisme. Yaitu, prinsip “sosialisme” dan “kekeluargaan” untuk kalangan usaha besar, dan “kapitalisme” alias “kompetisi pasar bebas” bagi kalangan usaha kecil.
BACA JUGA:
— Menguras Natural Capital: Ekonomi Siapa yang Diperjuangkan?
— Ke(tidak)sempurnaan Seorang Pemimpin
— Gelombang Investasi Peduli Bumi; Sustainable Investing
— Negeri Kita Berdarah-darah Karena Hutang?
— Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi
— Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?
Salam, Riki Frindos – www.FrindosOnFinance.com
Sungguh artikel sangat bagus, walaupun cukup singkat tetapi sangat mengena.
Sosialis atau sosialisme adalah fase (alat) untuk menuju masyarakat komunal menurut pakar tua. Keterlibatan atau intervensi dari pemerintah hemat saya adalah sangat penting untuk menjaga kesejahteraan dan peluang berusaha bagi masyarakat. Indonesia (konstitusi) menganut prinsip sosialis berdasarkan ideologi negara (Pancasila), refleksi dari ini seperti pajak. regulasi perusahaan, BUMN, dll.
Sistem ekonomi Kapitalis (pasar bebas) membuktikan adalah hal yg menggerakan dan mendorong masyarakat untuk berkembang.
Kapitalis dan monopoli (dkk) pada prakteknya diperbolehkan, akan tetapi jika tetap dibiarkan dan tidak di atur maka akan menjadi kekuatan yg berdiri diluar kekuasaan negara (beberapa perusahaan yg di nasionalisi sebagai contoh). Dibandingkan dengan negara maju dimana masyarakatnya dari awal dapat dikatakan cukup makmur maka tidak salah negaranya melakukan intervensi untuk kepentingan publik.
Namun berbeda halnya pada negara berkembang seperti Indonesia dimana sumber daya, pengelolaan serta pemanfaatan, birokrasi, regulasi jangka pendek, tekanan pihak luar dan berbagai kendala domestik yang mengakibatkan masyarakat sulit untuk berkembang dan memiliki pondasi utama penggerak perekonomian.
Tindakan-tindakan yg dilakukan pemerintah terhadap swasta disamping bertujuan mendapatkan keuntungan secara langsung yaitu untuk mengingatkan pada borjuis bahwa “you can’t take it more of that” menekankan negara pemilik kekuasaan secara indirect.
Menurut saya ikut campur pemerintah dalam perekonomian masyarakat sangat penting untuk menjaga kestabilan. Ironis bahwa Indonesia sendiri faktanya adalah negara yg di ekploitasi oleh pihak luar, juga tidak terlepas dari KKN yg berakar.
Hal terakhir yang ingin saya sampaikan yaitu pada hakikatnya masyarakat Indonesia sendiri adalah masyarakat komunal (kekeluargaan/paguyuban) dan Pemerintah disini berperan untuk menjaga socialist idea bagi masyarakatnya. Namun, sejarah membuktikan bahwa tidak satu negara pun yang berhasil mencapai sosialis murni atau bahkan komunisme yg dicita-citakan dan berakhir pada kehancuran negara itu sendiri akibat dari sifat ‘desire’ dari para oligarki. Intinya yaitu intervensi yg berlebihan merupakan ancaman bagi pemerintahan itu sendiri.
Salam.