Bitcoin telah mempesona jutaan orang, dan harganya melejit ke langit tinggi. Terjadi perdebatan keras saat ini, apakah fenomena melonjaknya harga bitcoin merupakan gelembung (bubble) yang tidak rasional, atau betul-betul merefleksikan prospek riil bitcoin dalam dunia keuangan di masa yang akan datang. Pihak yang percaya telah terjadi gelembung yang tidak rasional dalam perdagangan bitcoin mengait-ngaitkan ini dengan demam bunga Tulip di Belanda ratusan tahun lalu.
Bunga tulip memang mempesona. Sepuluh tahun yang lalu, ketika menyusuri jalan-jalan di sekitar kanal-kanal Amsterdam, saya dan istri tergoda untuk membeli beberapa bibit/bulb bunga tulip. Apalagi mertua saya juga berpesan untuk ikut dibelikan. Meskipun saya mendengar bahwa sangat sulit menumbuhkan bunga tulip di Indonesia yang beriklim tropis, saya tetap tergoda untuk membelinya.
Seperti sudah bisa ditebak, baik saya maupun mertua gagal menumbuhkembangkan bunga tulip tersebut di tanah air. Bunga tulip butuh iklim tertentu untuk dapat tumbuh berkembang, dan saya bukanlah petani profesional yang bisa merekayasa hal tersebut.
Saya yakin tidak hanya saya yang tergoda akan keindahan bunga Tulip. Dan, juga bukan hanya saya yang memiliki ekspektasi yang berlebihan terhadap bunga tulip, yaitu untuk tumbuh dan mekar di Indonesia. Beberapa abad yang lalu ribuan pedagang dan rakyat Belanda terpesona akan keindahan bunga tulip, dan mereka juga memilki ekspektasi yang berlebihan tentang bunga tulip.
From Turkey with Love
Meskipun saat ini menjadi simbol negeri Belanda, bunga tulip sebetulnya bukanlah berasal dari Belanda. Bunga tulip berasal dari Persia/Iran, yang kemudian berkembang ke daerah sekitarnya, termasuk ke kekaisaran Ottoman. Bunga tulip sangat populer bagi kalangan bangsawan Ottoman. Pada abad ke-16 bunga bunga tulip mulai berkembang dari Ottoman/Turki ke utara dan barat Eropa, termasuk ke Belanda. Dalam waktu singkat, rakyat Belanda jatuh cinta pada keindahan bunga tulip, yang cukup berbeda dengan bunga-bunga lainnya yang ada di Belanda dan kawasan Eropa lainnya. Bunga tulip dijual dengan harga premium, jauh di atas harga bunga lain-lainnya.
“Dalam waktu singkat, rakyat Belanda jatuh cinta pada keindahan bunga tulip.”
Berbagai macam varietas bunga tulip, berdasarkan variasi warnanya, berkembang saat itu. Masing-masing varietas memiliki pesonanya sendiri-sendiri. salah satu yang paling jarang tetapi banyak dicari adalah jenis Bizarden, karena memang unik dan ‘aneh’ (bizarre). Justru keunikannya ini yang membuatnya terlihat sangat indah dan eksotik, dengan pola warna yang berbeda dari yang lainnya. Belakangan diketahui, pola warna yang aneh ini disebabkan oleh semacam virus.

Perlu diketahui, yang diperdagangkan biasanya adalah bulb tulip (berbentuk kira-kira seperti bawang bombay dan berwarna coklat). Bulb tinggal ditanam, biasanya pada musim gugur, dan akan mekar pada musim semi tahun berikutnya. Bunga tulip tersebut akan rontok ketika musim panas datang, namun bulb baru akan terbentuk, bisa lebih dari satu, yang dapat ditanam ulang lagi seterusnya. Bunga tulip juga dapat dibudidayakan dari biji-bijiannya sendiri namun membutuhkan waktu bertahun-tahun.
Dari Cinta, Menjadi Demam, dan Kemudian Gila
Popularitas bunga tulip makin menanjak pada awal abad 17 seiring dengan berjayanya ekonomi Belanda, yang dikenal juga sebagai golden time nya Belanda. Kesuksesan Belanda mengeksploitasi Indonesia waktu itu berkontribusi pada kejayaan ekonomi mereka. Memiliki bunga tulip kemudian menjadi salah satu status sosial bagi masyarakat Belanda. Seiring dengan meningkatnya pemintaan akan bunga tulip, termasuk permintaan dari negara-negara lain, harganya pun ikut melonjak, terutama untuk jenis yang unik dan eksotik. Banyak orang-orang yang tiba-tiba menjadi kaya karena melejitnya harga bunga tulip ini. Demam bunga tulip mereba ke seantero negeri Belanda.
Perdagangan bulb tulip yang semakin marak berkembang menjadi sebuah perdagangan teroganisir, tak ubahnya perdagangan berjangka komoditas dewasa ini (futures market). Orang-orang bertransaksi bulb sepanjang tahun untuk sesuatu yang mereka baru akan terima pada musim panas (waktu bulb diambil/”dipanen” dari bunga tulip yang mulai layu). Spekulasi pun merebak, semua orang ingin menjadi kaya, yang tentu makin mendorong naiknya harga bulb tulip tersebut.
Dikabarkan pada tahun 1635, 40 bulb tulip dihargai sebesar 100.000 gulden, atau 2.500 gulden untuk satu bulb. Padahal pendapatan pekerja kelas menengah waktu itu hanya 250 gulden setahun! Artinya, orang-orang harus menabung selama 10 tahun untuk membeli satu bulb tulip.
Era tahun 1630-an adalah era dimana demam tulip makin menjadi-jadi di Belanda dan menjadi sebuah kegilaan. Orang-orang menggadaikan harta atau bahkan rumahnya untuk dapat bertransaksi membeli bulb tulip, dengan harapan nantinya dijual dengan harga lebih tinggi lagi. Ekspektasi semakin menjadi tidak rasional. Barangkali banyak orang mulai sadar bahwa harganya sudah tidak masuk akal, atau telah terjadi bubble, harga yang menggelembung jauh di atas nilai intrinsik bunga tulip itu sendiri. Namun, mereka percaya, atau lebih tepatnya berharap, bahwa ada orang lain yang akan mau membeli pada harga lebih tinggi, apapun alasannya itu.
“Kegilaan orang-orang pada bunga tulip bukan lagi karena pesona keindahannya, tapi godaan untuk menjadi kaya.”

Kita tahu, spekulasi yang mendorong harga menggelembung tinggi jauh dari nilai riilnya tidak akan bertahan selamanya. Akhirnya, pada tahun 1637, harga bulb tulip mulai merosot turun. Kepanikan menjalar di masyarakat, terutama orang-orang yang telah menggadaikan harta bendanya untuk turut berspekulasi. Orang-orang berebutan untuk segera menjual bulb mereka (atau lebih tepatnya kontrak futures tulip). Harga anjlok dan kemudian mereka tidak bisa menjualnya karena tidak ada pembeli. Demam tulip yang membuat banyak orang menjadi kaya berubah menjadi malapetaka.
Malapetaka yang berasal dari kegilaan pada bunga tulip ini, atau lebih dikenal sebagai Tulip Mania, merupakan pelajaran yang sangat mahal bagi masyarakat Belanda. Bubble yang dipicu oleh spekulasi luar biasa dan ekspektasi yang tidak rasional. Dalam dunia keuangan, tulip mania yang terjadi di Belanda ini menjadi contoh market bubble yang tertua di dunia.
Namun, sepertinya spekulasi yang mendorong terjadinya bubble telah menjadi bagian dari (kelemahan) karakter manusia, karena hal ini terus terjadi dan berulang, meskipun mungkin tidak dalam skala yang terjadi di Belanda pada tahun 1630an. Beberapa episode market bubble di pasar keuangan di berbagai belahan dunia, khususnya pasar saham, terus terjadi hingga abad modern ini.
Saat ini terjadi perdebatan apakah telah terjadi bubble dalam pergerakan harga bitcoin. Namun, tidak usah jauh-jauh, tidakkah gambar berikut mengingatkan Anda pada sebuah fenomena yang terjadi beberapa waktu lalu di negeri kita?
BACA JUGA
- Konflik Kebijakan Fiskal & Jebakan Kebijakan Populis
- How to Deal with Difficult Person…
- Mitos Sharing Economy dan Perusahaan Teknologi
- Kebebasan Finansial yang Salah Alamat
Salam, Riki Frindos – www.FrindosOnFinance.com