Utang selalu disikapi secara negatif, penuh kecurigaan, atau bahkan kebencian. Mungkin bisa dipahami, karena hutang kerap menjadi sumber problem ekonomi, baik pada level pribadi maupun negara. Seringkali krisis ekonomi terjadi karena beban hutang yang berlebihan atau penggunaan hutang yang tidak semestinya. Wajar, jika sebagian kaum menengah atas sering mengkritisi tentang hutang pemerintah kita, yang menurut mereka semakin besar. Politikus biasanya mengkritisi lebih pedas lagi — tentu hanya ketika mereka berada di kursi oposisi.

“Tiap hari pemerintah nambah hutang lebih dari Rp1 triliun”

Anda mungkin pernah membaca berita tentang jumlah utang pemerintah yang mencapai Rp3.500 triliun, angka yang sangat fantastis besarnya. Bahkan, bunganya saja yang harus dibayar per tahun lebih dari Rp200 triliun. Nah, pemerintah katanya malah masih berencana menambah utang baru lagi sebesar Rp384 triliun tahun 2017 ini. Artinya, tiap hari pemerintah nambah hutang lebih dari Rp1 triliun. Pemerintah sudah tidak punya uang lagi sehingga terus berhutang, kata seseorang. Negara ini salah urus dan sepertinya sudah mau bangkrut, timpal yang lain…

Utang NegaraSaya tidak akan bicara politik, atau negeri ini salah urus atau terurus dengan baik, tapi saya akan mencoba menempatkan isu hutang ini dalam proporsinya.
Yang pertama, besar kecil itu relatif, apalagi sesuatu yang dilandasi nilai uang dan dalam kurun waktu yang berbeda. Rp10 juta dengan USD10juta sangat berbeda sekali nilai riilnya. Nilai Rp25 di masa kanak-kanak saya berbeda dengan nilai Rp25 saat ini. Saya menghabiskan uang Rp1 juta untuk makan siang akan berbeda rasanya (pedih banget rasanya) dengan Bill Gates menghabiskan Rp1 juta untuk makan siangnya.

Benarkah pemerintah kerjaannya cuman numpuk utang? Sekitar sepuluh tahun yang lalu utang pemerintah cuman sekitar  Rp1.300 triliun, sekarang sudah hampir berlipat tiga.

Dulu dan Sekarang, karena Inflasi

Utang NegaraDahulu kala, waktu kuliah di Bandung, dalam kesulitan cash flow saya sering minjam uang pada 2-3 teman tertentu yang saya percaya (maksudnya yang saya percaya untuk tidak cerita-cerita kalau saya suka ngutang). Salah satunya tinggal nun jauh di sana di Dayeuh Kolot *), sementara saya di atas sini di Dago. Kadangkala tiap datang saya cuman meminjam uang Rp10ribu-Rp15 ribu ( atau lebih tepatnya, saya hanya dipercaya meminjam uang sebesar itu). Hanya sepuluh ribu rupiah? Ongkos angkot aja nggak cukup dong? Tapi cash flow tambahan Rp10 ribu – Rp15 ribu waktu itu cukup berharga, dan ongkos angkot cuman Rp300.  Malah, kadang bisa cuman Rp200 atau Rp250, kalau turun (pura-pura) tergesa-gesa, atau pura-pura bego.

“Utang yang nilainya kelihatan lebih besar mungkin hanya sekedar merefleksikan inflasi”

Utang yang nilainya kelihatan lebih besar mungkin hanya sekedar merefleksikan inflasi, bukan secara aktual utang itu bertambah. Mungkin. Kalau hutang pemerintah Indonesia nambah dari Rp1.300 triliun menjadi Rp3.500 triliun dalam sepuluh tahun terakhir, apa bener pemerintah berpesta pora menimbun hutang hingga hampir tiga kali lipat?. Bagi yang kritis mungkin kecewa: jawabannya tidak. Karena harga barang-barang saja sudah berlipat dua dalam periode tersebut. Kalau hutangnya secara riil nggak ditambah, hanya karena inflasi hutang yg Rp1.300 triliun itu pun sudah akan berlipat dua menjadi Rp2.600 triliun, begitu kira-kira.

Jadi kenaikan utang yang riil hanya dari Rp 2.600 trilliun ke Rp3.500 trilliun atau sekitar 35%, dalam sepuluh tahun. Atau per tahunnya sekitar 3%, riil.

Utang Negara
Inflasi di Indonesia naik 2 kali lipat dalam sepuluh tahun terakhir. Sources: Tradingeconomics, BPS.

Dulu dan Sekarang, Kita Semakin Kaya

Saat ini, kalau saya ketemu teman yang dari Dayeuh Kolot tadi dan minjam uang Rp10ribu dia akan tolak, tapi dia akan dengan senang hati ngasih saja. Dari sisi saya juga demikian, kalau minjam uang sekalian aja Rp100 juta, ngapain Rp10 ribu. Sekarang, nilai Rp10 ribu terasa kecil baik bagi saya maupun bagi Mr. Dayeuh Kolot ini. Karena selain faktor inflasi, juga, Alhamdulillah, seperti sebagian besar rakyat Indonesia dalam dua dekade terakhir, kita menjadi lebih kaya. Jaman kuliah, satu-satunya penghasilan saya selain pemberian orang tua adalah bea siswa Rp50 ribu per bulan. Saat ini, saya dan Mr. Dayeuh Kolot Alhamdulillah merasa lebih kaya, memiliki penghasilan lebih dari Rp50 ribu rupiah, mungkin di atas rata-rata masyarakat Indonesia yang mungkin sekitar Rp4-5 juta sebulan.

Utang NegaraBarangkali sama halnya dengan seorang teman yang lain, sekitar 15 tahun yang lalu dia membeli stereo dan komputer secara kredit, senilai beberapa juta rupiah. Hidupnya terasa berat, karena hutang sekian juta itu terasa berat untuk dicicil setiap bulannya. Saat ini, yang bersangkutan punya KPR ratusan juta rupiah di Bank, tapi hidupnya terasa lebih ringan, karena Alhamdulillah dia memiliki aset dan penghasilan yang lebih banyak saat ini.

Ketika utang riil pemerintah Indonesia naik rata-rata 3% per tahun, sementara pertumbuhan ekonomi riil (GDP) naik 5%-6% per tahun, artinya penambahan utang sebetulnya lebih kecil dari pertumbuhan ekonomi. Artinya juga, peran hutang pemerintah dalam keseluruhan aktivitas produksi di Indonesia justru berkurang, bukan nambah. Kalau kita tengok data rasio total hutang pemerintah dibandingkan GDP, ternyata benar trennya mengalami penurunan. Saat ini rasio Debt/GDP Indonesia sekitar 28%.

Utang Negara
Rasio Govt Det/GDP mengalami penurunan, menunjukkan peran hutang pemerintah dalam perekonomian berkurang. Sources: Trading economics, Kemenkeu.

Seberapa Besar Utang yang Besar Itu

OK, kita setuju bahwa peran hutang dalam perekonomian Indonesia dalam 15 tahun terakhir mengalami penurunan, dan rasionya saat ini adalah 28%. Tapi, apakah 28% itu rendah atau tinggi?

“Di Indonesia, diatur oleh Undang-Undang bahwa utang pemerintah jumlahnya tidak boleh melebih 60% dari nilai GDP per tahun.”

Tidak ada kesepakatan di antara ekonom mengenai seberapa besar peran hutang yang ideal dalam sebuah perekonomian. Namun, yang sering diadopsi adalah angka maksimal 60%. Artinya, jika rasio hutang pemerintah terhadap GDP di bawah 60%, dianggap masih manageable, jika di atas 60% perlu perhatian khusus. Rasio 60% ini menjadi acuan bagi negara-negara Uni Eropa. Demikian juga di Indonesia, diatur oleh Undang-Undang bahwa utang pemerintah jumlahnya tidak boleh melebih 60% dari nilai GDP per tahun.

Top 10 negara yang pemerintahannya memiliki rasio hutang dalam perekonomian paling tinggi. Catatan: Hutang pemerintah Singapura secara net hampir tidak ada. Pemerintah Singapur mengeluarkan surat utang untuk mengembangkan industri pasar modalnya

Dalam realitanya, bagaimana pemerintahan negara-negara di seluruh dunia mengelola tingkat hutangnya, dan bagaimana tingkat hutang mereka dibandingkan dengan Indonesia? Dalam tabel di samping saya tampilkan 10 negara di dunia dengan tingkat utang pemerintah tertinggi dunia.

Terlihat Jepang negara yang pemerintahnya paling “penghutang” dengan rasio utang pemerintah/GDP lebih dari 250%, diikuti oleh Yunani 179%. Semua pemerintah penghutang yang berada di top10 tersebut rasionya di atas 100% semua. Sepertinya, Indonesia dengan angka 28% terlihat sangat rendah. Jika diurut negara yang paling rendah tingkat utangnya di seluruh dunia, berdasarkan data yang dikumpulkan oeh trading economics, Indonesia berada di urutan 42 dari 174 negara. Posisi yang cukup baik.

Utang Pemerintah dan Utang Kita

Hutang pemerintah sebetulnya hutang kita juga, pemerintah ‘kan sekedar melaksanakan mandat dalam mengelola aset, kewajiban, dan keuangan negara dari rakyat. Tentu mereka bertanggung jawab pada rakyat atas keputusan yang mereka ambil.

Utang NegaraNah, kita rakyat banyak juga seringkali memerlukan hutang dalam mengelola perekonomian personal atau perekonomian keluarga, entah untuk beli mobil baru, renovasi rumah, atau pun untuk pendidikan anak. Hutang kita ini dinamakan hutang rumah tangga atau household debt. 

Household debt ini benar-benar hutang kita, untuk kita, dan diputuskan oleh masing-masing kita. Ketika sebagian kita mengkritik pemerintah yang selalu menambah hutang, bagaimana dengan kita sendiri? Ironisnya, data menunjukkan bahwa, sementara pemerintah dalam 10-15 tahun terakhir telah mengurangi peran hutang dalam perekonomian, kita justru yang semakin menyukai hutang, baik secara nilai nominal maupun relatif terhadap aktivitas perekonomian secara keseluruhan.

Utang Negara
Pemerintah dalam lima belas tahun terakhis terlah mengurangi ketergantungannya pada hutang (garis hitam), kita masyarakat yang semakin banyak menggunakan hutang (garis biru). Akan tetapi semuanya masih dalam level yang sehat. Sources: trading economics.

Jadi, selama masih dikelola dengan baik ke depannya, hutang pemerintah Indonesia dalam posisi relatif baik. Namun, tentu, sebagai yang akhirnya mendapatkan manfaat dan menerima risiko atas pengelolaan utang oleh negara, kita harus dan berhak mengawasinya. Apalagi, krisis ekonomi sering bermula dari penggunaan hutang yang berlebihan atau tidak tepat.

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY