Beberapa hari yang lalu saya bertemu seorang teman lama, katakan saja namanya Robby, seorang pengusaha berskala kecil menengah. Sambil menemaninya mereguk kopi, saya menyeduh teh dan mendengarkan celotehnya, atau lebih tepatnya keluhannya. Usahanya mengalami kemandegan dua tiga tahun terakhir, sementara karyawan tetap harus digaji, sewa kantor tetap dibayar, dan tentu anak dan istri harus tetap diberi nafkah.

ekonomi IndonesiaTipikal lelaki cerdas, Robby sangat kritis dan kadang cenderung skeptis juga. Dan, kebetulan juga teman saya ini sedikit ‘oposan’ dalam hal perdebatan politik dewasa ini. Jelas, dengan situasi seperti ini ia tidak melewatkan kritikannya pada pemerintah, berkaitan dengan kebijakan dan kompetensi pembuat dan pelaksana kebijakan. Seringkali ia memiliki poin yang pantas didengar, apalagi sebagai pengusaha ia memiliki pengalaman riil di lapangan.

Kali ini, Robby skeptis dengan klaim pemerintah tentang pertumbuhan ekonomi. Misalnya, hingga data terakhir kuartal pertama tahun 2017 ini, menurut BPS (Badan Pusat Statistik) ekonomi Indonesia (PDB atau GDP) masih tumbuh secara rill sebesar 5% dibandingkan setahun yang lalu. Artinya secara nominal uang, ekonomi kita tumbuh lebih besar lagi yaitu kira-kira sebesar pertumbuhan ekonomi riil ditambah tingkat inflasi.

“Tidak masuk akal,” sergah Robby sambil memandang sinis, seolah-olah saya adalah wakil pemerintah atau kepala BPS.

“Tidak masuk akal,” sergah Robby sambil memandang sinis, seolah-olah saya adalah wakil pemerintah atau kepala BPS. Poinnya adalah tiap tahun sejak tahun 2014 bisnisnya mengalami kelesuan, omzet turun dengan sendirinya laba juga turun, karena biaya tetap cukup besar. Dan, ia tidak sendiri, beberapa temannya di bidang usaha yang juga mengalami nasib yang sama. Pemasok barang-barang buat perusahaannya juga mengeluhkan hal yang sama. Tentu, ketika pengusaha seperti Robby omzetnya turun, dengan sendiri ia akan mengurangi order pada pemasok.

“Jangan marah-marah sama saya,” ujar saya setengah bercanda. Ia lalu terkekeh, karena ia sebetulnya memang cuman ingin mendengar pendapat saya.

ekonomi indonesiaRobby tidak salah, perekonomian memang tidak dalam kondisi yang prima dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang-orang yang bernasib seperti Robby, usahanya yang jalan di tempat atau malah mengalami kemunduran. Bahkan, Robby barangkali termasuk yang relatif beruntung, karena beberapa perusahaan terpaksa merumahkan pekerjanya karena sedemikian memburuknya kondisi  kondisi keuangan perusahaan.

“Beberapa bank mengalami nasib yang cukup buruk, harus kehilangan triliun dana yang dipinjamkan kepada perusahaan.”

Dan, tidak hanya perampingan tenaga kerja, dalam beberapa tahun terakhir, ada beberapa perusahaan yang gulung tikar atau hampir gulung tikar. Nasib perusahaan ini tidak hanya mempengaruhi pemilik modal dan karyawan perusahaan yang bersangkutan, tetapi juga pihak terkait lainnya, mitra distributor, pemasok barang, juga pihak bank. Itulah sebabnya kita melihat kredit macet juga membubung di industri perbankan kita. Bahkan beberapa bank mengalami nasib yang cukup buruk, harus kehilangan triliun dana yang dipinjamkan kepada perusahaan, karena perusahaan peminjam tidak mampu lagi mengembalikan dana tersebut.

Kita pasti mendengar bahwa bank-bank seperti Bank CIMB Niaga, Bank BII, dan terakhir Bank Permata, misalnya termasuk bank-bank yang tidak beruntung dalam siklus ekonomi kali ini. Kredit macet mereka melonjak, dan mereka harus mengikhlaskan triliunan rupiah dari kredit yang mereka berikan pada debitur. Untung, kondisi permodalan dan operasional bank-bank ini cukup baik. Meski harus kehilangan sumber keuntungan, mereka dapat melewatinya dengan baik.

“Berarti gue bener dong,” potong Robby, “kalau angka pertumbuhan ekonomi dari BPS tidak merefleksikan kondisi yang sebenarnya!”

Cross Check dengan Pihak Ketiga dan Indikator Ekonomi Lainnya

Terus terang saya tidak memahami secara detail metodologi dan proses perhitungan PDB yang dilakukan oleh BPS, dan saya bukanlah seorang statistician. Namun, dalam pandangan saya angka yang dikeluarkan oleh BPS cukup masuk akal. Karena, katakan jika Anda terlalu skeptis pada lembaga negeri sendiri, lembaga-lembaga internasional seperti IMF atau Bank Dunia, umpamanya, sebetulnya juga memperkirakan angka pertumbuhan yang tak jauh berbeda.
ekonomi indonesiaJuga, estimasi yang dilakukan oleh lembaga atau ekonom lainnya, misalnya dari bank, perusahaan sekuritas, atau universitas. Meskipun kadang ada perbedaan, tetapi tidak signifikan, dan semuanya sepakat bahwa perekonomian Indonesia masih tumbuh pada kisaran tersebut.

 

Perhitungan PDB adalah sebuah proses yang kompleks, baik data collection maupun pengolahannya. Akan tetapi, ekonom dapat melakukan cross check  dengan menggunakan beberapa proxy  yang mewakili segmen-segmen dalam pertumbuhan ekonomi. Misalnya, angka pertumbuhan penjualan retail, pertumbuhan pajak yang berkaitan dengan konsumsi (PPN), penjualan semen, penjualan mobil, pengeluaran pemerintah, angka penjualan perusahaan-perusahaan besar, dan lain-lain sebagainya.

Yang Kita Alami Belum Tentu Merefleksikan Seluruh Ekonomi

Tapi sebaiknya kita perlu ingat bahwa pertumbuhan ekonomi itu adalah pertumbuhan aktivitas ekonomi, yang dimanifestasikan dalam bentuk naik atau turunnya produksi di seluruh negeri Indonesia. Kejadian yang dialami oleh Robby hanya satu sampel dari banyak sampel lainnya. Dan rekan pengusaha atau pemasok perusahaan Robby tentu mengalami nasib yang serupa karena mereka bergerak di bidang atau sektor yang sama.

Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), kecuali pada tahun 2015, laba-laba perusahaan Indonesia yang terdaftar di BEI  masih terus tumbuh. Penurunan laba pada tahun 2015 sebagian juga disebabkan oleh kerugian valas, karena penurunan nilai Rupiah terhadap Dollar AS. Laba-laba perusahaan mengalami sedikit perbaikan setahun terakhir, termasuk sektor sumber daya alam yang sekian tahun tertekan.

Pengusaha vs Pekerja

Pertumbuhan ekonomi dapat juga dipahami sebagai pertumbuhan pendapatan semua penduduk Indonesia. Atau secara istilah ekonomi, semua balas jasa yang diterima oleh semua “faktor-faktor produksi” yang terlibat dalam proses produksi. Siapa saja faktor-faktor produksi tersebut? Sederhananya hanya tiga:

  1. Pemilik modal atau alat produksi, atau disini pengusaha atau pemegang saham
  2. Pemilik tenaga dan keahlian, tenaga kerja atau karyawan
  3. Pemilik tanah/aset atau sumber daya yang menyewakan atau meminjamkannya pada pihak lain, seperti pemiiik tanah dan pemilik modal yang menerima sewa atau bunga.

Jika kita sederhanakan lagi, yang paling dominan biasanya adalah no.1 dan no.2, yaitu pengusaha dan pekerja. Dalam perekonomian porsi pekerja biasanya jauh lebih besar dari porsi pengusaha. Data ini tidak tersedia di Indonesia, namun data dari negara maju seperti AS memperlihatkan bahwa total pendapatan semua pekerja besarnya 2-3 kali lebih besar total pendapatan pengusaha atau pemegang saham.

ekonomi indonesiaSebagai proxy, kita bisa secara acak melihat beberapa laporan keuangan dari berbagai perusahaan. Akan terlihat bahwa total biaya karyawan (gaji, dll) biasanya lebih besar dari total keuntungan perusahaan. Wajar saja, karena sebagian besar dari kita adalah pekerja atau karyawan. Misalnya, untuk perusahaan dengan karyawan berjumlah 100 orang, pemiliknya mungkin hanya satu, dua, atau tiga orang.

Lalu, apa relevansinya dengan kegusaran Robby? Karena, sebagai pengusaha Robby adalah minoritas, porsi mereka dalam seluruh perekonomian lebih kecil dari karyawan. Meskipun laba perusahaan, yang menjadi haknya pengusaha, mengalami penurunan, pendapatan karyawan belum tentu mengalami penurunan.

“Labor is sticky”

Labor is sticky, begitu istilahnya. Perusahaan tidak akan gampang begitu saja memecat karyawan ketika bisnis mengalami kelesuan. Karena pemecatan juga memiliki biaya, dan termasuk merekrut mereka lagi nanti. Jadi, meskipun terjadi berbagai perampingan di sana-sini, secara umum sebagian besar pekerja Indonesia masih bekerja seperti biasa, dan sebagian besar gaji mereka masih naik.

“Sama halnya dengan kamu ‘kan, Rob?” tanya saya. Robbymemang tidak memberhentikan karyawannya, meskipun beberapa dari gajinya tidak dinaikkan.

Jika total gaji seluruh karyawan dan pekerja di Indonesia masih naik, kemungkinan pertumbuhan ekonomi masih naik, karena inilah porsi terbesar dalam ekonomi.

Konsumsi Rumah Tangga Faktor Utama dalam Pertumbuhan Ekonomi

BPS biasanya menyajikan data pertumbuhan ekonomi dari sisi produksi dan sisi pengeluaran. Dari sisi pengeluaran, biasanya dibagi dalam pengeluaran pemerintah (G), konsumsi rumah tangga (C), investasi sektor swasta (I), dan aktivitas ekspor relatif terhadap impor (X-M).

“Dari sisi pengeluaran, porsi terbesar dari ekonomi adalah pengeluaran rumah tangga.”

Porsi terbesar dari ekonomi dimanapun juga adalah C, yaitu konsumsi atau pengeluaran rumah tangga, pengeluaran orang-orang seperti kita. Mirip dengan konsep “pengusaha vs pekerja”, dari perspektif pengeluaran, konsumsi itu juga sticky. Kita masih butuh makan, masih butuh liburan, masih bayar uang sekolah. Dan, secara rata-rata tanpa kita sadari dari tahun ke tahun pengeluaran kita bertambah termasuk karena bertambahnya anggota keluarga.

Dan seperti kita tahu, pemerintah juga berusaha menggenjot pengeluarannya (G) untuk menstimulasi pengeluaran yang lesu dari sektor swasta. Ini merupakan hal yang lazim dalam perlambatan pertumbuhan ekonomi.

ekonomi indonesiaKesimpulannya, ekonomi kita tidak terlalu menggembirakan dalam beberapa tahun terakhir, we are not happy about that. Tapi, ia masih tumbuh, ia tidak dalam kondisi resesi. Meski ada beberapa kasus dimana sebagian sektor, perusahaan, atau karyawan yang mengalami penurunan pendapatan atau bahkan bangkrut atau kehilangan pekerjaan, secara rata-rata pekerja Indonesia pendapatannya masih tumbuh, demikian juga perusahaan-perusahaan Indonesia, kecuali di tahun 2015.

“Lalu, apakah pemerintah telah melakukan yang terbaik dalam kondisi seperti ini atau mereka nggak ngerti mau ngapain karena sibuk pingin berkuasa?” tanya Robby.

“Sorry, Rob, udah adzan Maghrib, mari kita pulang”, saya menutup obrolan sore itu dengan mentraktir dia segelas kopi tadi, agar ia merasa sedikit lebih baik dengan kebaikan kecil temannya ini.

Ngomong-ngomong, jika Anda menanyakan pertanyaan Robby di atas kepada seseorang, apalagi yang memiliki afiliasi atau simpati politik tertentu, jawabannya bisa jadi akan sangat berbeda satu sama lainnya.

— Baca juga: Memahami Situasi Perekonomian Indonesia Saat ini

— Baca juga: Louis Vuitton dan Hermes Hanya Jual Merek?

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY