Fawzi Kamel hari itu, pada tanggal 5 Februari 2017, mendapat penumpang yang sangat istimewa. Fawzi adalah pengemudi Uber Black di San Francisco, AS, yaitu layanan premium dari perusahaan taxi online Uber. Penumpangnya adalah seorang pria mentereng berusia sekitar 40 tahun, yang ditemani oleh dua perempuan cantik. Sang penumpang sepertinya sangat menikmati perjalanan. Duduk diapit dua wanita jelita di kiri dan kanan, mereka bercengkerama penuh gelak tawa sepanjang perjalanan.

Setelah sampai di tujuan, sesaat sebelum penumpangnya turun, Fawzi tidak tahan untuk tidak mengeluarkan uneg-unegnya. Ia mengeluh mengenai nasibnya sebagai pengemudi Uber Black, dengan jumlah pendapatan yang makin terbatas, padahal ia telah menginvestasikan sejumlah uang yang tidak sedikit untuk dapat memenuhi syarat sebagai pengemudi dan mitra Uber Black. Yang ia keluhkan adalah strategi perusahaan Uber yang menurunkan harga secara agresif, untuk jenis layanan baru yang lebih terjangkau, yaitu Uber X. Akibatnya, pengemudi Uber Black kehilangan banyak pelanggan.

Sang penumpang tidak terima dengan protes Fawzi. Setelah sempat berdebat, lelaki mentereng tersebut tidak dapat menahan emosinya, dan akhirnya mengeluarkan kata cacian, dan mencerca bahwa Fawzi adalah tipe orang-orang yang tidak mau bertanggung jawab atas dirinya sendiri dan senang menyalahkan orang lain.

Kebetulan Fawzi memasang kamera di dashboard mobilnya (dashcam), dan rekaman pertengkaran ia dan penumpang tersebut ia sebarkan. Hanya dalam waktu singkat, video tersebut menjdi viral di internet dan diliput media-media utama. Perilaku penumpang Uber Black tersebut mendapat kritikan luas, karena penumpang tersebut bukanlah sembarang orang, ia adalah orang yang istimewa.

Lelaki penumpang Uber itu adalah Travis Kalanick, pendiri dan CEO Uber sendiri.

Perilaku Travis malam itu, yang tidak mencerminkan profil seorang pemimpin perusahaan besar, memperparah kontroversi yang tengah dialami Uber belakangan ini, berkaitan nilai etika dan budaya kerja yang berkembang dalam perusahaan Uber. Juga, sepertinya mengkonfirmasikan pada publik dan investor, bahwa budaya kerja di Uber yang tidak positif jangan-jangan berasal dari karakter dan kepemimpinan CEOnya sendiri.

Sebelumnya terungkap budaya “sexism” yang berkembang dalam perusahaan, dipicu oleh pengaduan yang dibuat oleh salah seorang engineer wanita. Wanita tersebut, yang bernama Susan Fowler, menyatakan bahwa ia berulang kali mengalami sexual harassment di dalam perusahaan yang didominasi oleh pria. Celakanya, ketika ia mengadukannya pada divisi HRD, ia tidak tidak mendapat tanggapan yang semestinya. Dan, bahkan atasannya yang melakukan sexual harassment tersebut mengancam akan memecat Susan jika melaporkannya lagi pada HRD. Susan akhirnya memutuskan keluar dari Uber.

Meskipun ada bantahan, namun akhirnya Uber mengakui bahwa adanya kultur sexism yang berkembang di dalam perusahaan. Bahkan, belakangan diketahui bahwa kasus harassment cukup banyak terjadi.

Namun, tidak hanya mengenai budaya kerja yang merendahkan wanita ini, Uber juga beberapa kali mengalami kontroversi berkaitan dengan bagaimana perusahaan menegakkan etika bisnis secara umum. Uber dituduh telah melanggar privasi dalam beberapa kasus sebelumnya. Seperti kasus pemerkosaan penumpang Uber  di India, misanya, Uber ‘mencuri’ data kesehatan korban sepertinya untuk mencari kelemahan sang korban pemerkosaan tersebut.

Selain itu, ada anggapan bahwa Uber sangat agresif dalam mengembangkan bisnis yang kadang mengindahkan kaidah-kaidah etika. Misalnya, ketika perusahaan taksi di New York mogok melayani penumpang di bandara, sebagai bentuk protes atas kebijakan kontroversial President Trump yang melarang warga dari beberapa negara muslim untuk masuk ke AS, Uber justru memanfaatkan ini dengan tetap beroperasi.

“build firstand ask questions later”

Agresifnya Uber dalam mengembangkan bisnis juga terlihat bagaimana Uber cenderung mengindahkan peraturan lokal di berbagai negara, seolah-olah strateginya: build firstand ask questions later, lobby pemerintah setelah banyak pengemudi dan penumpang merasa tergantung pada Uber. Tapi, dari sisi bisnis, strategi ini diakui sangat efektif.

Situasi  perusahaan yang tak menentu memicu eksodusnya banyak eksekutif penting Uber dalam beberapa bulan terakhir, termasuk President dari Uber sendiri, yang hanya mampu bertahan beberapa bulan, karena merasa nilai-nilai yang dia anut tidak sesuai dengan budaya yang berkembang di Uber. Kekosongan dalam posisi-posisi kunci perusahaan menimbulkan kekhawatiran yang sangat besar bagi investor. Mereka percaya situasi seperti ini akibat dari gaya kepemimpinan Travis Kalanick sebagai CEO.

Pejabat-pejabat senior Uber yang meniinggalkan perusahaan dalam tahun 2017 ini. Source: PeopleMaven.

Harus diakui Kalanick adalah  seorang yang hebat, jenius, dan pekerja keras.  Ia mampu mengembangkan Uber dalam waktu singkat, menumbuhkannya menjadi perusahaan dengan nilai yang fantastis sangat. Valuasi terakhir uber adalah US$62.5 miliar, atau sekitar dua kali lipat lebih besar dari nilai pasar Bank BCA atau HMSP, perusahaan dengan market cap terbesar di BEI.

Valuasi Perusahaan Uber dan perusahaan-perusahaan lain di AS dengan nilai serupa. Terlihat bahwa nilai perusahaan Uber dua kali lipat eBay.

Namun, untuk membawa Uber ke tahap berikutnya diperlukan kepemimpinan yang baru, demikian kesimpulan para investor. Travis Kalanick akhirnya menyerah pada tekanan dari para pemodal. Dua hari yang lalu, 21 Juni, Travis Kalanick akhirnya secara resmi mengundurkan diri sebagai CEO dari perusahaan yang ia dirikan sendiri.

Kenapa Travis Kalanick yang masih memiliki saham yang besar dan secara praktis ia memiliki suara mayoritas di Uber akhirnya menyerah? Sepertinya, ini tidak hanya mengenai berkaitan dengan budaya perusahaan.

Uber tumbuh luar biasa cepatnya, pendapatan perusahaan juga melesat, akan tetapi secara profitabilitas perusahaan masih merugi. Dan jumlah kerugiannya tidak tanggung-tanggung. Dalam setahun terakhir, dari nilai pendapatan sebesar US$9.1 miliar, Uber merugi sebesar US$3.3 miliar atau lebih dari Rp40 triliun rupiah!

Sementara itu, kompetisi juga semakin ketat. Di China, Uber sudah angkat tangan dan menjual bisnisnya pada kompetitornya sendiri, Didi. Di AS, pasar terbesar untuk Uber, mereka juga terus kehilangan pangsa pasar dalam berkompetisi, terutama dengan Lyft. Saat ini pangsa pasar Uber hanya tinggal sekitar 77%, dengan tren yang terus menurun. Protes dari publik untuk berhenti mengunakan Uber juga beberapa kali terjadi.

Juga di Indonesia, misalnya, Uber mengalami gempuran dari kompetitor-kompetitornya, yaitu Grab yang sangat tangguh di kawasan Asia Tenggara, dan tentunya Gojek perusahaan dengan jaringan lokal yang kuat.

Jika sesuatu yang signifikan dan strategis tidak dilakukan, Uber akan ‘kehabisan uang’ dalam waktu singkat, dan bisa jadi eksistensinya dipertanyakan, atau butuh suntikan dana lagi dari pemodal. Investor, yang telah menggelontorkan US$11.56 miliar, termasuk US$8.81 miliar dalam bentuk penyertaan saham,  mulai kehilangan kesabaran.

“Jika sesuatu yang signifikan dan strategis tidak dilakukan, Uber akan ‘kehabisan uang’ dalam waktu singkat, dan bisa jadi eksistensinya dipertanyakan”

Nah, seandainya kinerja keuangan Uber jauh lebih baik, bisa jadi Travis Kalanick tidak akan mau begitu saja digusur dari kursinya sebagai CEO. Sementara investor mungkin akan ‘tutup mata’ dengan semua kontroversi yang terjadi.

Kronologi pendanaaan Uber. Source: Crunchbase

Pertanyaannya, begitu Travis Kalanick mundur, apakah semuanya akan berjalan lancar bagi Uber? Jelas tidak, masih banyak batu sandungan ke depannya. Yang paling mendesak tentu mencari CEO pengganti, dan mengisi posisi-posisi strategis lainnya yang masih kosong.

Ada juga kekhawatiran apakah Uber akan mengulangi nasib Apple atau Twitter. Ketika Steve Jobs digeser dari Apple pada tahun 1980-an, kondisi Apple justru makin memburuk, dan Apple terpaksa mengundang Steve Jobs kembali lagi. Saat ini, hanya dalam hitungan hari telah lebih dari seribu karyawan Uber pendukung Travis Kalanick mengajukan petisi agar Kalanick dikembalikan lagi ke Uber.

Fawzi Kamel dan Travis Kalanick, ketika berargumen di dalam Uber Black yang dikendarai Fawzi.

Namun, yang paling kritikal bagi Uber adalah bagaimana secara strategis merubah atau menyesuaikan model bisnisnya, untuk mengkonversi pendapatan menjadi laba ditengah makin ketatnya persaingan. Jika ini tidak dapat dilakukan, maka Uber bisa jadi bernasib seperti yang disampaikan oleh Fawzi Kamel, ketika ia membalas cercaan dari Travis Kalanick malam itu: “I know that you aren’t going to go far!”

 

Salam, RF – www.FrindosOnFinance.com


Feel free to share with buttons below. Thank you.

LEAVE A REPLY